Catatan Perjalanan Arsitektur : Eiffel I am in Love



Photos bisa dilihat disini called Paris2004 :
www.photobox.co.uk/ambar_briastuti@yahoo.co.uk

Meminjam novel karya Nia ini memang bercerita tentang Eiffel Tower dan Paris tentunya. Dari lubuk terdalam keinginan untuk merambah kota ini sudah tercipta tahunan lalu ketika aku jatuh cinta pada arsitektur. Ketambahan sehabis baca novel Da Vinci Code-nya Dan Brown dengan setting Scotland dan Paris rasanya benar-benar memacu keingintahuan. Tapi ternyata banyak banget rintangannya. Dimulai dari urusan visa yang menjengkelkan, duit yang belum nyukup, thesis yang ngga bisa ditinggal, plus lain-lainnya. Akhirnya kesempatan itu datang sekitar bulan Oktober 2004.

Jalur penerbangan Birmingham-Paris tercatat dikuasai British Airways dan Air France memaksa harga tiket jadi melambung. Harga standard jadi sekitar £140 return. Tadinya pengen nyobain Eurostar -naik kereta dibawah English Cannel. Tapi ternyata tiketnya sama mahalnya plus depart dari London Waterloo.Nambah duit lagi jadinya. So yah akhirnya beli online di
www.lastminute.com untuk flight doang. Sedang akomodasi booking lewat internet dengan klas lumayan (untuk standard backpacker).

Setiba di Charles de Gaulle (lewat pintu domestik) timbul rasa penasaran untuk eksplore lebih jauh. Dengan dua rucksack gede plus laptop bag akhirnya berkeliaran di bandara. Sasarannya tentu arsitektur terminal international yang paling baru itu. Inget ngga sekitar bulan May 2004 sebagian atapnya collapsed karena kegagalan struktur. Nah ini saatnya investigasi. Secara desain memang tantangannya luar biasa karena atap terbuat dari lengkung pre-cast cement. Sedang di bagian wing terminal terbuat atap ini disambung dengan susunan baja plus lapisan kaca sebagai tulang punggungnya. Sekilas mirip duri ikan. Menariknya fine finishing hanya ditemui di bagian Air France dengan lapisan kayu di seluruh atap (bayangkan betapa mahalnya kayu parqute per meternya). Hampir separuh di bagian ini ditutup untuk perbaikan konstruksi.

Untuk passanger traffic nampak lebih tertata dan mengalir. Cuma management counternya yang agak payah. Antar terminal terlihat kurang untuk fasilitas transport (lift, ekskalator dsb). Ini berbeda dengan bandara Stansted karya Norman Foster yang lebih terorganisasi, padat dan suprisingly lebih kecil.Karena letaknya diluar kota jadi dari bandara harus ke pusat kota dengan Metro -layanan kereta subway. Waktu mencoba bayar pake kartu kredit, mesin agak ngadat ngga mau ngeluarin tiket. Susahnya semua services memakai bahasa French dan ngga ada pengantar lainnya. Yah main tebak-tebakan jadinya. Improvisasi.....

Belum ada 10 menit ternyata kereta berhenti dan kita diminta keluar untuk berganti dengan bis karena ada kecelakaan di jalur Metro. Ini aja diterjemahkan oleh seorang cewek Amerika yang fasih berbahasa Perancis. Hah...pindah lagi dan nungguin bis itu lama banget. In the end harus berdesakan di bis, payahnya lagi ada yang mabokkk. Jadi kebayang naik bis Yogya-Solo yang situasinya mirip banget.

Untung hotel ngga jauh dan cuma ditempuh sekali naik Metro. Di Paris layanan Metro dibedakan yang di inner city dan yang outer city (mis bandara dsb). Jadi kalau dari outer trus ke inner jalurnya berbeda dan biasanya pake tiket one day untuk lebih murahnya. Tapi gara-gara kecelakaan tadi kita bisa claim untuk ngga bayar di inner city (horee....). Metro Paris ditanggung lebih nyaman dibanding Underground London yang supersesak. Enaknya lagi sistem jalurnya mirip dengan yang di London jadi memudahkan untuk merencanakan rute.

Setelah meninggalkan rucksack plus bawaan akhirnya cabut ke city. Untung saja hari itu cuaca cerah walau suhu tetep aja dingin (6-7C). Karena laper kita akhirnya mampir makan dulu di cafe pinggir jalan. Oya tips di cafe : jangan minum teh, rasanya enggak karuan. Paling umum mereka minum coffe terutama ekspresso yang kopi asli. Cobalah beli roti perancis (bagutte) yang sekilas keliatan keras tapi ternyata lunak di tengah. Juga butter croissant yang harum banget. Satu hal lagi : makanan di Paris serba mahal, kalau bisa makan aja di cafe, jangan restaurant (kecuali yang ingin special tentunya).

Eiffel itu cuma menara besar yang berdiri gagah. Awalnya ia sebuah kontroversi karena desainnya yang tidak conventional. Toh orang Paris mencintainya setengah mati bahkan menjadi simbol cinta itu sendiri. Desain karya Gustave Eiffel yang memenangkan kompetisi untuk Centennial Exibition tahun 1889. Diperlukan waktu dua tahun dengan kecepatan project yang luar biasa. Tercatat Charles Garnier, Charles Gounoud dan Alexander Dumas mengirimkan petisi penolakan menara Eiffel dengan alasan "seperti bangunan monster", " seperti tulang belulang yang dirangkai", dan mengutuk pembangunanya sebagai "kejahatan melawan sejarah dan kota Paris". Anehnya menara ini hanya didesain untuk masa 20 tahun, nyatanya bisa bertahan hingga sekarang.

Untuk menuju ke puncak ada tiga gate di pillarnya. Terbagi atas tiga lantai. Kalau mau ke puncak dengan lift sekitar 15Euro dari lantai bawah. Tapi coba aja naik dengan tangga hingga lantai kedua melalui pilar selatan (Pilier Sud). Ini ditujukan buat yang merasa fit dan butuh sedikit olahraga. Lumayan capek juga dan tiketnya lebih murah hanya 5Euro. Dari Lantai dua kita harus naik lift yang tarifnya lumayan (kalau ngga salah sekitar 7Euro). Kalau cuaca lagi baik ngga rugi koq sampe puncak. Setelah taking snap shot dan 360degree pictures akhirnya menikmati sunset di Eiffel. Memang amat syahdu karena jumlah turis berkurang banyak dan saat itu cuaca sedang berbaik hati.

Satu tempat tujuan lagi adalah Musee du Louvre yang menjadi setting pembuka Dan Brown's novel. Keistimewaannya adalah bangunan kontroversial berbentuk pyramid kaca karya arsitek Amerika IM Pei sebagai entrance-nya. Ketika dibangun tahun 1989 di jaman President Miterrand bangunan ini juga memicu kritik yang luas. Bukan saja desainnya yang nampak sangat kontemporer diantara bangunan renaisance yang secara kasat mata memunculkan paradoks. Bayangkan ditengah tari jawa klasik tiba-tiba diselip tari bali yang gegap gempita. Pyramid itu sendiri terdiri dari 793 panel kaca dengan tinggi 21.6m yang diletakkan di tengah lapangan musem Louvre yang berbentuk U. Museum ini tercatat menyimpan koleksi paling banyak tentang peradaban manusia seluruh dunia. Ia juga menyimpan koleksi ratusan mahakarya jaman Renaisance yang perbijinya berharga jutaan dollar.

Tak jauh dari pyramid in terdapat juga Inverse Pyramid yang berupa pyramid dengan arah menusuk ketanah menuju void yang menjadi pusat view dari mall dan supermaket yang menjadi kesatuan Museum Louvre. Secara struktural Inverse pyramid ini yang paling menarik karena tentu dibuat dengan melawan gravitasi juga ukurannya jauh lebih kecil dibanding main pyramid. Tapi disinilah kunci konsep desainnya.

Musee du Louvre sangat luas dan ngga bakal selesai dijelajahi dalam sehari. Aku sendiri hanya berkutat di Denon Wing tempat Monalisa, mahakarya Leonardo Da Vinci. Lukisan ini sendiri sebenarnya kecil dan dilindungi kaca anti peluru. Untuk sekedar mengambil foto saja musti berjuang diantara para turis yang mengerubuti seperti halnya selebriti. Keunikan Monalisa sendiri adalah bukan senyumnya tapi jenis kelaminnya yang ternyata bukan perempuan. Da Vinci sendirilah yang memproklamirkan-nya sebagai mahakarya padahal tercatat banyak sekali lukisan dan sketsanya yang lebih bermakna (beberapa gagasan jenius seperti helikopter, contact lenses). Aku juga sempet menyelinap di lantai bawah untuk melihat eksebisi Islamic Art yang koleksinya dipinjam dari Museum di New York. Tercatat beberapa peninggalan Islam jaman Abbasiyah dan Umayyah, juga jaman Ottoman. Juga aku temui beberapa lukisan yang jelas menggambarkan manusia dan binatang yang tentunya saat itu sangat terlarang dilakukan.

Terakhir bangunan yang paling aneh yang ingin aku lihat adalah Grande Arche de La Defence. Bentuk pencakar langit ini unik karena seperti kubus tapi berlubang ditengahnya dengan kaca dan marble. Terletak di kawasan bisnis terkemuka Perancis ini yang paling mengundang pengunjung. Untuk menuju kesana harus naik Metro inner dengan tujuan akhir Grande Arche de La Defence dan jalan kaki sekitar 10 menit. Dari sini kita bisa melihat Arc de Triomphe dan Eiffel di kejauhan. Sayangnya hari itu cuaca sedang tak bersahabat. Angin dingin dibarengi hujan membuat perjalanan nampak ngga berkesan. Toh aku memastikan diri.

La Defence didesain oleh arsitek asal Denmark Otto Von Spreckelsen yang menyimbolkan jendela yang membuka dunia. Dengan tinggi 112m tiap sisinya dan merupakan ujung dari sumbu imajiner yang menghubungkannya Arc de Triomphe. Sitenya sendiri dibuat sedikit menyudut sekitar 7derajad mengambil muka Eiffel. Di tengahnya terdapat atap seperti tenda raksasa yang menaungi empat capsule lift menuju atapnya. Aku tadinya mikir juga setelah liat harga tiket, tapi karena ini satu-satunya kesempatan so cabut. Udara bener-bener dingin dan kabut lumayan tebal menyelimuti Paris.

Capsule lift hari itu yang beroperasi cuma dua biji. Letaknya yang diluar gedung dengan struktur kaca transparant membuat miris ketika lift mulai bergerak. Bayangin naik lift hingga lantai 35an sambil liat pemandangan. Desainnya mengingatkan akan Lloyds Building karya Richard Rogers di London yang liftnya berada di luar. Tapi aku lebih suka Grande Arche yang lebih elegant ketimbang Lloyds yang nampak arogant di sisi hightech.

Sesampai diatas, seperti diduga semua tampak mengecewakan. Sama sekali ngga bisa liat pemandangan, view hanya terbatas. Belum lagi hujan deras memaksa aku masuk lagi dan menghabiskan sejam berkeliaran melihat pameran foto hitam putih konstruksi Grance Arche.

Toh impianku untuk menjelajah Paris tuntas sudah. Ngga sia-sia melihat dari dekat karya arsitek klas dunia. Inilah perjalanan arsitektural-ku yang meninggalkan banyak pelajaran.

Salam jauh,
Ambar
also in :
http://www.indobackpacker.com/content/view/92/1/

Comments